Monday, November 16, 2009

Sheryl Crow Kampanye Bahaya Pemanasan Global

BINTANG musik Sheryl Crow, tak pelak, satu dari beberapa pesohor yang dikenal sebagai tukang kritik. Dalam aksi kritiknya, penyanyi pop, rock, blues, dan country, ini tak pandang bulu. Pemenang sembilan kali Grammy Award ini tak segan-segan menyerang kebijakan soal invasi brutal yang dilakukan negaranya, Amerika Serikat, terhadap negara berdaulat Irak sampai porak poranda. Sebagai tukang kritik, Crow tidak peduli atas konsekuensi yang harus diterimanya. Soal kritik tajam terhadap pemerintahan negaranya, misalnya, ia dituduh sebagai pribadi yang tak nasionalis. Apa jawaban diplomatis bintang musik yang mulai dikenal dengan lagu “All I Wanna Do”? Sederhana saja. “Karena setiap orang adalah warga global, terlepas apakah dia warga Amerika Serikat atau bukan.“



Saat menyerang kebijakan begitu banyaknya kekerasan yang diakibatkan mudahnya mendapatkan senjata api di Amerika Serikat, Crow tanpa tedeng aling-aling menuliskannya pada sebuah lagu berjudul “Love Is A Good Thing” yang membuat manajemen perusahaan retail terbesar di Amerika Serikatat, Wal-Mart, memboikot penjualan albumnya. Watch our children as they kill each other with a gun they bought at Wal-Mart Discount Store (Awasi anak-anak kita kalau-kalau mereka saling membunuh dengan senjata yang mereka beli di toko Wal-Mart )

Kritik tajam Crow tentang legalitas dan kemudahan memiliki senjata api pun, kini mendapatkan momentumnya kembali saat mahasiswa asal Korea Selatan, Cho Seung-hui (23) menembakkan senjata apinya dan memakan korban 33 mahasiswa di kampus Virginia Tech, Amerika Serikat, Senin, 16/4.

Itu hanyalah dua contoh aktivitas kritik tajam dari Sheryl Crow, kelahiran Kenett, Missouri, AS, 11 Februari 1962. Energinya sebagai tukang kritik sepertinya terus tersalurkan dan tak habis-habisnya. Sekarang, yang sedang dilakukannya adalah mengkritik kebijakkan negara-negara seperti negaranya dalam hal penggunaan bahan bakar fosil bumi yang memicu pemanasan global. Ia tidak peduli bahwa negaranya, Amerika Serikat, adalah penyumbang paling besar terjadinya bahaya itu.

Sarjana musik University of Missouri, Columbia ini sepanjang April tahun ini gencar melakukan kampanye tentang bahaya pemanasan global lewat konser-konsernya di beberapa kota di Amerika Serikat. Konser paling megahnya berkaitan dengan kampanyenya itu akan dilakukan bersama bintang musik lainnya pada 7 Juli 2007 yang bertajuk live concert 0 di Asia Pasifik, Eropa, dan tentu saja di negrinya sendiri, Amerika Serikat.

Dari laporan para pakar Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Panel Ahli untuk Perubahan Iklim, yang tergabung dalam badan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) ada tiga laporan mengenai pemanasan global. Pertama; adanya bukti ilmiah perubahan iklim, kedua; pemanasan global akan memberi dampak negatif bagi ratusan juta penduduk dunia. Dan ketiga; tindakan untuk menangani pemanasan global.

Tak urung, isi laporan itu membuat bekas kekasih bintang musik Eric Clapton itu bergidik. Terlebih suhu permukaan bumi akan meningkat tajam dalam lima tahun mendatang yang memicu mencairnya gunung es di Amerika Latin dan berakibat peninggian air laut. Pulau-pulau kecil akan banyak yang hilang dan daratan di pesisir pantai berubah menjadi lautan. Yang jauh mengerikan adalah ketegangan-ketegangan antar negara akan semakin mudah terjadi dan tidak menutup kemungkinan memicu peperangan.

Meningkatnya suhu bumi lebih dikarenakan adanya akumulasi radiasi sinar matahari yang terperangkap di atmosfer. Pantulan radiasi dari permukaan bumi yang memancar ke luar angkasa itu terhadang dan diserap gas-gas di atmosfer (disebut gas rumah kaca). Sebagai catatan, gas rumah kaca itu hasil kegiatan manusia yang ada hubungannya dengan penggunaan bahan bakar fosil, seperti adanya alat transportasi. Gas rumah kaca terjadi juga karena tingginya penggunaan peralatan elektronik, penggundulan hutan, serta kebakaran hutan yang mengurangi penyerapan karbon dioksida.

“Perubahan iklim akan menjadi bencana lingkungan dan ekonomi. Terang saja ancaman itu menanggung risiko besar kalau diabaikan. Langkah-langkah harus segera diambil untuk mencegahnya,” kata Achim Steiner, Direktur Eksekutif Program Lingkungan PBB.

Tak urung, segala dampak buruk membuat Sheryl Crow tidak bisa berdiam diri saja. Terlebih jika menyimak apa yang dilaporkan oleh IPPC pada 2 Februari 2007 lalu di Paris, Perancis, bahwa 90 % penyebab pemanasan global karena laku salah manusia sendiri
“Kita berkehendak untuk menyadarkan kaum generasi sekarang tentang pentingnya lingkungan hidup yang lebih baik lagi di masa datang.” Gustiana/berbagai sumber